Kebijakan Tarif Balasan AS Ancam Sektor TI Indonesia dan Melemahkan Nilai Tukar Rupiah

Kebijakan Tarif Balasan AS Ancam Sektor TI Indonesia dan Melemahkan Nilai Tukar Rupiah

Kebijakan tarif balasan yang diumumkan oleh Amerika Serikat dinilai berpotensi besar melemahkan sektor telekomunikasi dan teknologi informasi (TI) di Indonesia, serta menekan nilai tukar rupiah. Direktur Ekonomi Digital di Center for Economics and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menegaskan bahwa industri teknologi dalam negeri saat ini masih belum memiliki kapasitas produksi yang memadai untuk menghadapi dampak dari kebijakan tersebut.

Presiden AS Donald Trump pada Rabu, 2 April 2025, mengumumkan penerapan kebijakan tarif balasan kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kebijakan tersebut mulai berlaku tiga hari setelah pengumuman. Tarif umum sebesar 10 persen dikenakan pada semua negara mulai Sabtu, 5 April 2025, sementara tarif khusus mulai berlaku Rabu, 9 April 2025.

Indonesia dikenakan tarif balasan sebesar 32 persen. Negara lain seperti Filipina mendapat 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen.

“Saya melihat kebijakan tarif impor AS akan melemahkan industri TI domestik karena industri kita belum mampu memproduksi secara mandiri,” ujar Nailul Huda dalam pernyataannya yang dikutip pada Senin, 7 April 2025.

Ia menambahkan bahwa terbatasnya kapasitas produksi dalam negeri membuat industri lokal kesulitan mencari pasar alternatif ketika permintaan ekspor dari AS menurun. Di sisi lain, pasar dalam negeri juga terancam dibanjiri oleh produk-produk TI dari negara lain yang turut terdampak tarif AS dan mencari pasar baru, termasuk Indonesia.

“Kita khawatir, ketika ekspor menurun dan kita kesulitan bersaing di pasar global, produk dari negara lain malah masuk ke sini dan memperparah tekanan terhadap industri kita,” jelasnya.

Selain itu, Huda menyoroti risiko pelemahan nilai tukar rupiah sebagai dampak lanjutan. Industri elektronik dan TI sangat bergantung pada impor komponen utama seperti chip, yang sebagian besar belum diproduksi di dalam negeri. Akibatnya, pelemahan rupiah berpotensi menyebabkan kenaikan harga impor, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan sektor teknologi nasional.

Huda menyarankan pemerintah segera melakukan negosiasi bilateral dengan pemerintah AS guna menurunkan tarif perdagangan terhadap Indonesia. Ia juga mengkritik kebijakan AS yang dinilai semakin membatasi masuknya produk Indonesia ke pasar mereka melalui tarif dan hambatan non-tarif lainnya.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia dinilai perlu memperkuat posisi tawarnya di tingkat global dengan membentuk aliansi strategis bersama negara-negara lain, seperti lewat kemitraan BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan).

“BRICS bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat posisi kita. Selain itu, kita juga harus mendorong pertumbuhan industri TI nasional melalui insentif dan kebijakan strategis lainnya,” tambah Huda.

Pelemahan Rupiah Perlu Diwaspadai

Senada dengan Huda, pengamat telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, juga mengingatkan bahwa kebijakan tarif balasan dari AS dapat berdampak langsung terhadap pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Menurut Heru, nilai tukar rupiah yang telah mencapai Rp17.000 per dolar patut diwaspadai. Jika tekanan terus berlanjut hingga menembus Rp20.000 per dolar, maka sektor telekomunikasi dalam negeri akan mengalami tekanan yang cukup besar.

Pelemahan ini dapat menyebabkan banyak proyek tertunda serta menimbulkan kesulitan dalam pembayaran kepada vendor. Hal ini disebabkan mayoritas perangkat telekomunikasi di Indonesia masih diimpor dan harganya sangat bergantung pada fluktuasi nilai tukar.

“Banyak proyek bisa tertunda dan pembayaran ke vendor terganggu karena peralatan telekomunikasi kita banyak yang berasal dari luar negeri. Harga perangkat pun ikut naik seiring dengan pelemahan rupiah,” jelas Heru.

Ia juga meminta pemerintah agar memperhatikan dampak jangka panjang dari kebijakan ekonomi AS, termasuk risiko penurunan daya beli masyarakat terhadap produk TI yang harganya semakin mahal akibat fluktuasi mata uang dan tekanan eksternal lainnya.

Hana Putri